MENJADI SAHABAT BAGI MURID TANPA KEHILANGAN WIBAWA

MENJADI SAHABAT BAGI MURID TANPA KEHILANGAN WIBAWA
Penulis: Ustadzah Lilik Sofyah
Editor: Ustadzah Ratnatus Sa’idah
Menjadi guru di era anak-anak Gen Z ini memang beda, Bun! Mereka adalah anak-anak yang lahir di tengah gempuran teknologi, serba cepat, dan sangat terbuka. Mereka bisa belajar apa saja dari YouTube atau TikTok.
Tapi, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh internet: kehangatan, perhatian tulus, dan hati seorang guru.
Anak-anak zaman sekarang itu cerdas, kritis, tapi juga gampang cemas dan butuh sosok yang ngertiin mereka. Jadi, guru tidak hanya dituntut pintar mengajar kurikulum, tapi juga pintar memahami dan membimbing dengan hati.
Guru bukan cuma pengajar, tapi juga “teman curhat” anak di sekolah. Sering muncul pertanyaan di kalangan guru (atau mungkin kita sebagai orang tua): “Bagaimana caranya guru bisa dekat banget sama anak, tapi tetap dihormati dan didengarkan?”
Jawabannya, seimbangkan kedekatan dan ketegasan. Guru bisa jadi “sahabat” anak, tapi tetap punya wibawa yang membuat anak nyaman sekaligus hormat. Yuk, kita lihat bagaimana caranya!
Jadi Pendengar Yang Siap Sedia.
Anak usia SD (terutama di kelas-kelas awal) senang sekali kalau suaranya didengarkan. Mereka ingin pendapatnya dihargai, sekecil apa pun itu. Kadang mereka tidak butuh ceramah, cukup seseorang yang mau mendengarkan keluh kesah atau cerita random-nya. Misalnya, Sesekali, tanyakan, “Ada apa Nak, cerita sama ustadz/ustadzah?” atau “Menurut kamu, bagusnya kita kerjakan tugas ini dengan cara yang mana?”. Efeknya, Anak akan merasa dihargai, mereka akan menganggap guru sebagai orang dewasa yang paling aman untuk diajak bicara selain orang tuanya di rumah.
Gunakan Bahasa yang “Nyambung” dengan Dunia Mereka.
Anak-anak sekarang lebih suka cara mengajar yang santai, interaktif, dan penuh kejutan. Gaya guru yang terlalu formal dan monoton bisa bikin mereka cepat bosan. Misalnya, Sisipkan humor atau cerita ringan yang relevan saat mengajar, membuat suasana kelas lebih cair. Tapi ingat, akrab itu beda dengan hilang batas. Guru tetap menjaga sikap sopan dan profesional agar batas hormat tetap ada. Mereka akan menghormati guru yang komunikatif, jujur, dan tidak “menggurui.”
Tegas tapi Tetap Hangat Penuh Kasih.
Wibawa guru tidak muncul dari suara keras atau wajah galak. Wibawa sejati datang dari sikap yang konsisten dan adil saat menerapkan aturan. Misalnya, Saat menegur atau memberi sanksi, lakukan dengan cara yang lembut, fokus pada perilakunya, bukan pada pribadinya. contoh: “Ibu tahu kamu anak baik, tapi melempar pulpen saat belajar itu tidak boleh ya, Nak.”. Efeknya, ketika guru bisa bersikap tegas tapi tetap ramah dan adil, anak akan menghormati aturan dan guru bukan karena takut dihukum, tapi karena mereka percaya bahwa guru tulus ingin mereka menjadi lebih baik.
Jadilah Sosok “Nyata” yang Menginspirasi
Anak-anak Gen Z menghormati sosok yang jujur. Mereka suka dengan guru yang berani bercerita tentang perjuangan, kegagalan, atau pengalaman hidup yang membangun. Misalnya, Tunjukkan empati saat anak sedang mengalami kesulitan belajar. Katakan: “Tidak apa-apa, Nak. Kita coba lagi. Ibu percaya kamu pasti bisa.”. Efeknya, Guru akan terlihat lebih manusiawi, dan anak akan merasa bersemangat karena mereka tahu bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
Menjadi sahabat bagi murid bukan berarti kehilangan wibawa. Justru, kedekatan itu adalah kekuatan terbesar seorang guru di masa kini. Guru yang mau mendengar, bersikap adil, dan mengajar dengan hati akan selalu dihormati bukan karena ditakuti, tapi karena disayangi dan dipercaya oleh anak-anak. Di masa depan, anak kita mungkin akan lupa rumus atau teori IPA, tapi mereka tidak akan pernah lupa bagaimana perasaan mereka saat belajar bersama gurunya. Karena sejatinya Guru yang baik meninggalkan jejak di hati, bukan hanya di pikiran.
