Perjalanan Tak Terduga Siapa Sangka Aku Menjadi Santriwati
Perjalanan Tak Terduga Siapa Sangka Aku Menjadi Santriwati Pesantren Tahfidz Khairunnas Madura
Jika ada yang bertanya kapan pertama kali aku mengenal kehidupan pesantren, maka jawabanku adalah sejak baru saja aku lulus dari Sekolah Dasar (SD). Disaat banyak temanku memilih masuk SMP favorit setelah lulus dari SD, aku justru mengikuti langkah yang tak banyak disangka orang untuk memberanikan mondok di pesantren. Keputusan ini bukan datang dari diriku. Jujur saja, awalnya aku belum paham betul tentang dunia pesantren. Saat kedua orangtua mengusulkan agar aku masuk SMP berbasis pesantren, aku sempat menolak. Aku masih ingin tinggal di rumah, sekolah seperti biasa, dan bermain seperti anak-anak lainnya. Tapi, orangtuaku bersikeras, mereka ingin aku mendapatkan ilmu agama sejak dini, bukan hanya pelajaran dunia saja.
Langkah Pertama : Tangis, Bingung, dan Malam Pertama di Pesantren
Hari itu datang lebih cepat dari yang ku duga. Aku diantar ke pesantren oleh ayah dan ibu. Aku membawa tas yang berisi perlengkapan untuk mondok seperti: perlengkapan sholat, perlengkapan alat tulis, perlengkapan mandi, seragam sekolah dan pakaian sehari-hari yang akan dikenakan sehari-hari, serta beberapa cemilan untuk untuk penghibur hati. Sampailah ketika, ayah dan ibu berpamitan dan menitipkan ku di Pesantren Tahfidz Khairunnas Madura, tak terasa air mataku jatuh membasahi seluruh pipiku. Dengan berat hati, aku mengikhlaskan semuanya dn berusaha membuat ayah dan ibuku bangga kepadaku, karena nanti aku akan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an, aamiin.
Malam pertama di pesantren adalah malam yang berat untukku. Tak ada suara televisi, tak ada perlukan ibu menjelang tidur, dan tak ada waktu untuk ku bermain bersama dengan teman-teman. Bangunan malam merupakan pertama kali dalam diriku. Yang biasanya ku bangun selepas subuh, dan jarang sekali untuk bangun malam mendirikan sholat malam. Namun, itu semua merupakan langkah awal dari kebiasaan ini baruku.
Hari Awal : Berteman dengan Rutinitas Baru dan Kesederhanaan
Bangun dini hari, antri kamar mandi, shalat berjamaah, mengaji untuk setoran, sekolah, hafalan, makan bersama, dan tidur di bawah jam 12 malam untuk istirahat. Sekarang itu menjadi rutinitas ku setiap hari. Awalnya aku merasa semuanya melelahkan. Tubuhku kaget, pikiranku bingung, dan perasaan ku masih labil. Namun, lama-lama ku mulai terbiasa dengan semua kegiatan di pesantren. Bahkan aku mulai menemukan keindahan dan keseruan dalam kebersamaan. Teman-teman di pesantren menjadi sahabat yang selalu ada di kala suka maupun duka. Kami saling bertukar pendapat, saling membantu, bahkan saling membantu menyemangati saat sedang malas menghafal Al-Qur’an.
Disinilah aku mengenal artinya hidup sederhana namun penuh dengan makna. Tidak ada handphone pun hatiku perlahan terasa lebih damai dan lebih fokus untuk menghafal Al-Qur’an.
Selama Aku Berada di Pesantren yang Mengubah Diriku
Setelah beberapa bulan, aku mulai tersadar bahwa pesantren bukan tempat untuk “ditahan-tahan” sampai lulus saja. Pesantren adalah tempat untuk dibentuk. Aku yang dulu susah untuk bangun malam, sekarang terbiasa bangun malam dan mendirikan sholat malam. Aku dulu yang menganggap mengaji itu sulit dan membosankan, sekarang mulai mencintai Al-Qur’an dan ingin lebih dekat dengan-Nya. Tak hanya ilmu agama yang ku pelajari, tapi juga ilmu hidup. Aku belajar cara menghadapi teman yang berbeda karakter, cara mengatur waktu untuk, dan cara menghadapi rindu yang tak bisa disampaikan setiap hari.
Di pesantren, aku belajar tentang keteguhan. Saat teman-teman sekolah lain asyik dengan handphone, aku belajar sabar menunggu hari kunjungan. Saat orang lain sibuk mengejar trend, aku belajar mengejar ilmu dan hafalan Al-Qur’an biasanya. Dan dari sanalah aku menemukan versi diriku yang baru, lebih kuat, lebih sabar, dan lebih bersyukur.
Siapa sangka, anak yang dulu menangis karena tak bisa membawa boneka kesayangannya ke pesantren, kini tumbuh menjadi santriwati yang siap menghadapi dunia dengan iman dan ilmu. Mondok sejak SMP mengajariku bahwa usia muda bukan alasan untuk bermalas-malasan. Justru dari usia di muda lah kita bisa menanamkan pondasi kehidupan. Dan aku bersyukur aku memulainya lebih awal.