KAMI BUKAN CUSTOMER, LALU KAMI SIAPA? RAHASIA KEMITRAAN YANG MELIPATGANDAKAN POTENSI ANAK ANDA

KAMI BUKAN CUSTOMER, LALU KAMI SIAPA?

RAHASIA KEMITRAAN YANG MELIPATGANDAKAN POTENSI ANAK ANDA

Penulis: Ustadzah Ratnatus Sa’idah

Setiap awal tahun ajaran, sebuah transaksi tak tertulis terjadi. Orang tua membayar biaya sekolah, dan sebagai imbalannya, sekolah diharapkan memberikan pendidikan berkualitas. Dalam skema ini, mudah bagi kita, para orang tua, untuk menempatkan diri sebagai customer atau pelanggan. Kita telah “membeli” sebuah jasa. Jika ada masalah nilai anak turun, terjadi perundungan, atau guru tidak cocok, naluri pertama kita adalah mengajukan keluhan, menuntut solusi.

Namun, bagaimana jika cara pandang ini adalah jebakan terbesar dalam pendidikan anak kita? Bagaimana jika dengan memposisikan diri sebagai pelanggan, kita justru membatasi potensi mereka? Pertanyaan mendasarnya adalah: jika kami bukan customer, lalu kami siapa?

Jawabannya jauh lebih kuat dan bermakna: Anda adalah Growth Partner (Mitra Pertumbuhan). Inilah rahasia kemitraan sejati antara rumah dan sekolah yang telah terbukti secara ilmiah mampu melipatgandakan potensi seorang anak.

 

Mengapa Mindset “Customer” Berbahaya?

Hubungan pelanggan-penyedia jasa pada dasarnya bersifat transaksional dan reaktif. Pelanggan membayar dan menuntut, sementara penyedia jasa melayani dan merespons. Dalam konteks pendidikan, model ini menciptakan beberapa masalah serius:

  1. Mendelegasikan Tanggung Jawab, Bukan Berbagi

Orang tua merasa tugas mendidik sepenuhnya ada di tangan sekolah. “Saya sudah bayar, sisanya urusan guru.” Padahal, pendidikan adalah proses berkelanjutan yang tidak berhenti di gerbang sekolah.

  1. Komunikasi Berbasis Keluhan

Interaksi sering kali baru terjadi ketika ada masalah. Hubungan menjadi negatif dan fokus pada penyelesaian masalah, bukan pada pencegahan atau pengembangan potensi.

  1. Menciptakan Jarak

Ada sekat “kami” (orang tua) dan “mereka” (sekolah). Hal ini menghalangi terbentuknya kepercayaan dan visi bersama yang esensial untuk perkembangan anak.

 

Memahami Peran Baru: Orang Tua sebagai Mitra Pertumbuhan

Menjadi Growth Partner berarti mengubah paradigma dari hubungan transaksional menjadi relasional dan proaktif. Ini bukan sekadar tentang terlibat, tetapi tentang membangun aliansi strategis dengan sekolah demi satu tujuan yaitu memaksimalkan tumbuh kembang anak secara holistik.

 

Sebuah contoh: Jika seorang Customer cenderung bertanya, “Mengapa nilai anak saya turun dan apa yang akan sekolah lakukan?”, maka seorang Growth Partner akan bertanya, “Bagaimana kami di rumah bisa menyelaraskan kebiasaan belajar anak dengan metode yang diterapkan guru di sekolah? Kami ingin memastikan dukungan yang konsisten.”

Konsep ini didukung kuat oleh para ahli pendidikan dunia. Salah satu fondasi terpenting datang dari Urie Bronfenbrenner, seorang psikolog perkembangan dengan Teori Sistem Ekologi. Menurut Bronfenbrenner, “perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh interaksi berbagai lapisan lingkungan (sistem)”.

Mikrosistem adalah lingkungan terdekat anak, yaitu keluarga dan sekolah. Kekuatan perkembangan anak sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antara dua mikrosistem ini (disebut Mesosistem). Ketika hubungan antara rumah dan sekolah kuat, positif, dan selaras, anak berada dalam lingkungan perkembangan yang paling optimal.

Artinya, ketika orang tua dan guru berkomunikasi secara teratur, berbagi informasi, dan menyelaraskan nilai-nilai, anak akan merasa lebih aman, lebih termotivasi, dan lebih mampu mencapai potensinya. Mereka melihat bahwa dua dunia terpenting dalam hidup mereka tidak saling bertentangan, melainkan bekerja sama.

Selaras dengan konsep yang ditawarkan Bronfenbrenner, SD Khairunnas 2 #SekolahDiMasjid pada tahun ajaran 2025-2026 berikhtiar untuk memaksimalkan kerjasama dengan walimurid dalam upaya untuk membentuk lingkungan yang memiliki frame growth maindset dengan membentuk sebuah komunitas Growth Partner yang kami beri nama IKS (Ikatan Keluarga Sejuk) SD Khairunnas 2 #SekolahDiMasjid. Ini merupakan komunitas walimurid  SD Khairunnas 2 #SekolahDiMasjid  yang memiliki cita-cita untuk:

  1. Mengintegrasikan Visi dan Misi Pendidikan.

Menghapus sekat pemisah antara tujuan pendidikan di rumah dan di sekolah. Komunitas ini menjadi wadah untuk menyelaraskan nilai-nilai, ekspektasi perilaku, dan metode belajar-mengajar sehingga anak mendapatkan pesan yang konsisten dan saling menguatkan dari kedua lingkungan utama mereka.

  1. Membentuk Lingkungan Growth Mindset

Menciptakan budaya di mana baik anak, orang tua, maupun guru memandang kegagalan sebagai peluang belajar, bukan sebagai final judgement atau alasan untuk mengeluh. Komunitas ini akan fokus pada upaya dan proses alih-alih hanya terpaku pada hasil akhir (nilai).

  1. Mengaktifkan Mesosistem Secara Positif.

Merujuk pada Bronfenbrenner, komunitas ini secara struktural akan memfasilitasi komunikasi dua arah yang proaktif dan positif. Bukan hanya saat ada masalah, tetapi juga melalui sharing session, forum orangtua dan guru serta kolaborasi berbagai program yang terencana.

Melalui komunitas seperti IKS (Ikatan Keluarga Sejuk) di SD Khairunnas 2 #SekolahDiMasjid, kita punya cara nyata untuk berkolaborasi dan menyatukan kekuatan rumah dan sekolah agar anak-anak kita mendapatkan dukungan yang konsisten dan maksimal.

 

 

 

 

 

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x