Jihad Melawan Hawa Nafsu

Jihad Melawan Hawa Nafsu

Melawan hawa nafsu merupakan esensi pokok yang menjadi ujung pangkal dari jihad itu sendiri. Sebab jika sudah mampu menundukkan hawa nafsu tentu kecil sekali sesorang memiliki musuh. Tidak heran kemudian Rasulullah menyebutkan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Diriwayatkan setelah umat Islam menang dalam Perang Badar (perang terbesar dan menentukan bagi kelangsungan umat) Rasulullah bersabda:

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “jihad (memerangi) hawa nafsu.”

Berperang melawan hawa nafsu sesungguhnya jauh lebih sulit dibandingkan dengan berperang melawan musuh-musuh yang nyata secara fisik. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW mengatakan bahwa perang di medan pertempuran adalah jihad kecil, sementara perang melawan hawa nafsu adalah jihad besar

Dalam hal ini, jihad  melawan  hawa  nafsu  maksudnya  adalah mencurahkan  segenap  usaha  dan  kemampuan  untuk  berkomitmen  terhadap aturan  Allah  SWT  dan  meniti  jalan-Nya   yang  lurus.  Hal  ini  mecakup ketaatan  dan  peribadahan  kepada  Allah  SWT,  menjauhi  maksiat,  dengan melaksanakan  kewajiban  terhadap  Tuhan,  diri,  umat,  semua  manusia,  alam, dan semua makluk.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ

Artinya: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar)

Seseorang yang terlalu mengikuti hawa nafsu akan berakhir dengan merugi dan bahkan celaka. Artinya, tatkala hawa nafsu sudah menjadi sesuatu yang harus diikuti, maka yang bersangkutan telah mengalami kekalahan. Tentu mereka tidak merasakan bahwa dirinya sedang kalah perang, yaitu perang dengan dirinya sendiri. Akalnya berusaha untuk memberikan pertimbangan, tetapi nafsunya tidak berhasil dikendalikan. Oleh karena akal tidak mencukupi itu, maka sebenarnya Tuhan telah menurunkan piranti lain, yaitu agama.

Imam  al-Ghazali menerangkan beratnya  jihad melawan  nafsu  yang  memerintahkan  kepada  kejahatan  (nafs  al-ammarah  bi al-su’) dan menentang kebahagiaan manusia, dari dua aspek: Pertama,  nafsu  merupakan  musuh  dari  dalam  diri.  Apabila  pencuri berasal dari dalam rumah, ia akan lebih sulit untuk diwaspadai. Kedua,   nafsu   merupakan   musuh   yang   dicintai.   Jika   seseorang mencintai musuhya bagaimana mungkin ia akan melawannya. Al-Ghazali mengatakan, “manusia  itu  buta  terhadap  aib  dari  orang yang dicintainya. Ia hampir tidak melihat aibnya tersebut”.

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankaabut: 69)

Jihad   melawan   hawa   nafsu   itu   mempunyai   beberapa   tingkatan, diantaranya :

Pertama,  Jihad   yang   berkaitan   dengan   upaya   meningkatkan   kualitas intelektual  dalam  rangka  mencari  dan mempresentasikan   kebenaran   agama. Hal   ini   karena   Allah memerintahkan untuk mempelajari agama dan menyiapkan pahala yang sangat besar bagi para penuntut ilmu dan orang-orang  yang berilmu.

Kedua,  Jihad   melawan   hawa   nafsu   juga   dalam   kaitannya   dengan pengamalan dan pengaplikasian     ilmu     pengetahuan     yang diperolehnya dengan penuh   amanah   dan   ihsan,   maksudnya adalah  mentaati  perintah-perintah-Nya  dan  menjauhi  larangan-Nya.

Ketiga, Jihad melawan hawa nafsu  dengan  mensosiasikan (mendakwahkan) ilmunya kepada   orang   lain dan mengajak mereka ke jalan Allah atas kebenaran,  dengan  cara  yang bijak,  nasihat  yang  baik,  dan  dialog  dengan  kelompok yang berbeda dengan cara yang baik.

Keempat,  Ketabahan  dan  kesabaran  dalam  menuntut  ilmu  pengetahuan, mengamalkan      dan   mensosialisasikannya   dikategorikan   pula sebagai jihad melawan hawa nafsu.

Dari  sini  kita  tahu  bahwa  diantara  aspek    terpenting  jihad  melawan hawa  nafsu  ini  adalah  kita  harus  melatih  jiwa  dan  diri  agar  dapat  terjun  ke medan   pertempuranjihad   lainnya.   Sesungguhnya,   jihad   melawan   hawa nafsu  merupakan  tingkatan  penting  dari  tingkatan-tingkatan  jihad  di  jalan Allah,  sebagaimana  telah  disyariatkan Islam.  Hal  ini  harus  diletakkan  pada tempatnya,  tidak  dibiarkan  secara  mutlak,  tidak  diambil  lebih  banyak  dari yang ditentukan, dan tidak melanggar macam-macam jihad lainnya.

Sebagai orang yang bertaqwa seharusnya mampu mengendalikan diri tatkala harus menghadapi berbagai tantangan dan atau problem yang selalu datang. Seseorang disebut mampu mengendalikan diri manakala menghadapi masalah atau tantangan tidak tampak emosional, tidak berpikir subyektif dan irrasional. Selain itu, seorang disebut mampu mengendalikan diri ketika bisa melihat antara benar dan atau salah, dan bukan hanya menang atau kalah. Namun kemampuan mengendalikan diri ternyata bukan pekerjaan mudah, sebaliknya adalah amat berat, bahkan melebihi perang fisik, maka harus dilatih melalui ibadah agar selalu ingat kepada Allah. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top